Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Oleh: : Matheos Messakh
DI TENGAH Kota Kupang ada Patung yang disebut Patung Sonbai. Selain patung itu adalah sebuah interpretasi salah kaprah karena Raja Timor tidak berperang di atas kuda, banyak juga yang tidak mengetahui bahwa figur Sonbai itu lebih dari satu orang. Dan orang Timor sendiri mungkin bingung siapa sebenarnya yang dipatungkan di tengah kota Kupang itu. Patung yang menjadi pertanda (landmark) Kota Kupang itu sebenarnya adakah patung Sobe Sonbai III, raja terakhir di tahta Sonbai, yang mengobarkan perlawanan terhadap Belanda di awal abad 20 sebagaimana beberapa pendahulunya. Apakah raja yang disebut Belanda dengan Pretendent-Keizer ini benar-benar sangat ditakuti seperti yang sering dituliskan dalam sejarah-sejarah popular kita?
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Pertikaian yang sekarang dikenang banyak orang dengan Perang Bipolo ternyata merupakan awal dari kejatuhan Sobe Sonbai III, yang kerjaannya dipandang Belanda sudah melemah. Berikut ini adalah rangkuman tulisan Steven Farram terhadap event ini yang dituliskan dalam disertasinya From ‘Timor Koepang’ to ‘Timor NTT’: A Political History of West Timor, 1901-1967, hal 74-79.
***
PADA malam tanggal 19 Agustus 1905, dua hari setelah Resident De Rooy telah bertolak dengan kekuatan militer yang tersedia ke Flores, para meo dan orang-orang Sobe Sonbai III menyerang desa Bipolo dan Nunkurus di wilayah pemerintah Belanda, membunuh 32 warga dan menculik 62 yang lain.
Segera De Rooy mengetahui hal ini ia memerintahkan pembatalan expedisi ke Flores dan segera kembali ke Kupang. De Rooy bertekat untuk tidak hanya menghukum Sobe Sonbai III untuk perlawanannya ini namun ia juga bertekad memusnahkan seluruh kekuasaannya, mengirimnya ke pembuangan dan mencabut semua hal kebangsawanannya.[1]
Sejak awal abad 19 banyak orang Rote telah tinggal di sekitar teluk Kupang dan menduduki banyak wilayah yang sebelumnya merupakan wilayah Sonbai. Pretendent-Keizer Sobe Sonbai III memang telah lama dicurigai sebagai yang berada di balik kekacauan di wilayah ini di tahun 1903, namun dengan peristiwa ini Belanda mendapat bukti keterlibatannya.
Di landasan patung hanya dituliskan 'Monumen Pahlawan Sonbai' tanpa penjelasan Sonbai manakah yang dimaksud. {ist}
Di landasan patung hanya dituliskan ‘Monumen Pahlawan Sonbai’ tanpa penjelasan Sonbai manakah yang dimaksud. {ist}
Kerajaan Sonbai telah menjadi penentang kekuasaan Belanda selama bertahun-tahun dan, walaupun telah menurun secara drastis, kerajaan ini tetap menjadi penting secara symbolis bagi kebanyakan orang Timor.
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Jika sang Pretendent-Keizer dapat menyatukan kerjaan tuanya dan secara terbuka menentang Belanda, kerjaan lain juga akan mengikuti jejaknya. Di lain pihak, dengan mengalahkan seorang Sonbai akan memperkuat kekuasaan Belanda dan menjadi hantaman bagi moral orang Timor. De Rooy berketetapan untuk mengalahkan Sonbai dan karenanya mengirim pasukannya untuk bertindak. Hasilnya dikenang di Timor sampai sekarang Perang Bipolo.
Menurut sumber-sumber orang Timor, Sobe Sonbai III membangun tiga banteng untuk melawan Belanda yaitu: Ektob di Benu, Kabun di Noelnoni dan Fatusiki di Oelnaineno. Banteng-benteng ini dijaga oleh meo-meo (pemimpin perang) yang setia kepadanya, termasuk Labi Kornel, anak dari Hati Kornel dari Tefnai, dan yang paling kuat dari semua meo itu adalah Toto Smaut dari Pitais, yang seperti Sonbai sendiri, menklaim mempunyai kekuatan magis. Sejumlah le’u musu (dukun perang) juga datang menolong Sonbai.[2]
Seorang laki-laki dengan tengkorak-tengkorak kepala yang dipenggal. Foto dibuat di Timor sekitar tahun 1910. Perburuan Kepala menjadi salah satu masalah di Timor saat itu. {sumber: KITLV}.
Seorang laki-laki dengan tengkorak-tengkorak kepala yang dipenggal. Foto dibuat di Timor sekitar tahun 1910, berarti sekitar 5 tahun setelah ‘Perang Bipolo’. Perburuan Kepala menjadi salah satu masalah di Timor saat itu. {sumber: KITLV}.
Adalah sangat menguntungkan bahwa pihak Sonbai bersiap untuk pembalasan Belanda, karena tak lama kemudian Belanda datang. Pasukan yang dikirim untuk menghukum para Pretendent-Keizer dikomandani oleh Letnan Rijnders, didampingi oleh Controleur Hellwig. Juga da sebuah pasukan yang terpisah dari Jawa yang dikomandoi oleh Kapten A. Franssen Herderschee.
Pasukan-pasukan ini pertama kali bertemu dengan pasukan Sonbai di Ektob pada 18 September. Yang dimaksud ‘benteng’ di sini sebenarnya tebing berbatu terjal, di sekitarnya dibangun dinding dan gubuk di berbagai tingkatan.
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Beberapa anggota pasukan Belanda terluka oleh para penembak jitu tersembunyi sampai akhirnya para penembak ini dibungkam dengan sejumlah salvo.[3] Seorang meo secara terbuka keluar menantang dan mengecam tentara yang dipekerjakan Belanda sebagai ‘asoe kompenie’ (‘anjing Kompeni’) namun ia tewas.[4] Ketika gua-gua di Ektob dimasuki pada hari berikutnya tentara Belanda hanya menemukan gua kosong yang telah ditinggalkan dan beberapa tubuh korban orang Timor. Dalam gua tertinggi ditemukan beberapa senapan dan tongkat dan surat pengangkatan Raja Benu. The Raja telah melarikan diri, tapi sisa kerajaannya tampaknya telah ditinggalkan juga.[5]
Pasukan Belanda maju terus untuk mengejar Tefnai, namun ketika mereka mencapai kampung Kornel Oteh, kampung itupun telah ditinggalkan. Sebuah bendera Belanda, tongkat Kornel Oteh dan surat pengakuan dari Belanda, yang telah ia paparkan dengan penyesalan kepada Resident Heckler di tahun 1903, ditemukan dibuang dan tergantung di sebuah pohon. Diperkirakan bahwa Kornel telah beranjak ke Kauniki, di mana perlawanan besar kemungkinan terjadi.[6]
Ketika pasukan Belanda mencapai Kauniki pada tanggal 3 Oktober, kampung ini juga telah ditinggalkan oleh penghuninya. Namun para Sonbai yang melarikan diri meninggalkan peringatan yang mengerikan menyangkut penyebab dari keseluruhan masalah. Sebuah rumah khusus ditemukan 14 kepala manusia, yang masih dikenali sebagai kepala dari orang-orang yang terbunuh di Bipolo dan Nunkurus.
Pada 2 November 1905 Letnan Rijnders dan Controleur Hellwig kembali ke Kupang dengan sejumlah tawanan. Tugas untuk mengejar para pelarian utama yang lainnya, Raja Benu, Raja Tefnai dan Pretendent-Keizer, diserahkan kepada Kapten Franssen Herderschee. Sang Kapten juga diserahi otoritas sipil sementara di distrik-distrik yang ‘bergolak’.[7]
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Kapten Franssen Herderschee menjadi seorang Civiel Gezaghebber (Administratur Sipil). Ia adalah salah satu dari banyak pejabat militer yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan sipil di Timor Barat.[8] Sang Kapten diperintahkan untuk memperkenalkan peraturan-peraturan baru yang dibuat untuk membawa ‘rust en orde’ ke distrik-distrik ini. Peraturan-peraturan ini meliputi: penghapusan perburuan kepala dan perdagangan budak; pelarangan kepemilikan senjata api; pendaftaran penduduk; penentuan tempat tinggal yang pasti; sebuah sistem pass masuk untuk orang China dan orang asing lainnnya yang ingin masuk ke pedalaman Timor; pendirian pasar-pasar untuk memperkenalkan pendagangan yang kompetitif dan menghentikan system barter yang dimonopoli oleh orang China; penetapan ‘pemerintahan pribumi’ yang diatur dengan regulasi; pembangunan jalan-jalan penghubung; dan penetapan wilayah-wilayah merumput yang tetap bagi ternak-ternak yang berkeliaran, sebagai tanggapan terhadap maraknya pencurian ternak yang dilihat sebagai akar dari segala perang, perburuan kepala dan penculikkan di Timor.[9]
Peraturan-peraturan ini bukanlah perintah (order) yang kecil dan penerapan dari upaya-upaya ini menyebabkan banyak perlawanan dan kadang ‘pemberontakan’, namun upaya-upaya ini tetap diterapkan dan pasifikasi Timor Barat dapat dikatakan telah sesungguhnya dimulai. Sementara itu sang Pretendent-Keizer masih dalam pelarian dan meskipun sejumlah penguasa yang tidak mendukungnya sudah membantu Belanda, ia tak dapat ditemukan.
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Sepanjang bulan November dan Desember 1905 pencarian Sobe Sonbai III dilanjutkan. Berbagai kelompok ‘jahat’ ditemui oleh patrol yang dipimpin oleh Letnan de Vries, kadangkala berjumlah 100 orang. Sejumlah pendukung Sonbai dibunuh dan ditangkap. Korban di pihak Belanda hanya sedikit, yaitu satu orang ‘infantry pribumi’ terbunuh dan beberapa penembak terluka.[10] Banyak orang yang telah meninggalkan kampung mereka pada awal ‘perang’ telah kembali. Kehidupan kembali normal dan keamanan nampaknya terjamin ketika pada 6 Februari 1906 sang Pretendent-Keizer diminta untuk menyerah kepada Civiel Gezaghebber oleh Fettor of Besiana, di distrik dimana ia bersembunyi.
Kornel Oteh dan Hati Kornel, yang tinggal dengan sang Pretendent-Keizer, dikatakan telah melarikan diri ke enclave Portugis di Noemuti.[11] Walaupun sumber Belanda menerangkan dengan jelas bahwa Sonbai menyerah secara sukarela, versi Timor menyatakan bahwa ia ditipu atau dikhianati. I.H. Doko mengatakan bahwa Sonbai diundang oleh Fettor Besiana untuk bernegosiasi dengan Gezaghebber di Kauniki. Ia datang ke sana dan terkejut karena pada saat tiba ia dikepung dan ditangkap. Versi ini mirip dengan penangkapan Diponegoro di Jawa pada tahun 1830. Dalam versi lain tempat persembunyian Sonbai diungkapkan kepada Belanda lewat iming-iming hadiah materi.[12]
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Sore 6 Februari Letnan de Vries tiba bersama pasukan patrolinya di Bonfafi dimana ia menangkap ‘pemimpin intelektual’ Cina dan penasehat Pretendent-Keizer, Tji A Man.[13] Resident de Rooy, yang melaporkan hal ini, tidak banyak melaporkan tentang Tji A Man yang ‘terkenal jahat’ selain bahwa ia sebelumnya adalah seorang klerk di kantor Residency di Kupang sebelum melarikan diri karena utang. De Rooy mengatakan bahwa Sobe Sonbai telah meminta Tji A Man untuk tinggal bersamanya, tetapi tidak mengatakan apa-apa tentang peran orang ini.[14]
Namun I.H. Doko menjelaskan bahwa Tji A Man telah memimpin sekelompok orang melawan Belanda di Bipolo sebelum menarik diri ke Kauniki. Salah satu perannya adalah menyediakan senjata, peluru dan serbuk peluru kepada Pretendent-Keizer. Menurut Doko, Tji A Man dipenjarakan di Kupang, namun seorang Cina kaya, Tjung Fuk Long, mengatur agar seorang pengacara dari Batavia datang membela kasusnya.
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Sebelum pengacara itu tiba Belanda telah menggantung Tji A Man, namun mengklaim bahwa ia telah menggantung dirinya sendiri.[15] Walaupun detail dari cerita versi Doko tidak bisa diverifikasi, peran Tji A Man sebagai pemasok senjata dan serbuk mesiu sangat masuk akal. Bebearapa orang Cina yang lain dikatakan mempunyai peran yang sama, seperti Baa Kapitan, Nie Puk Nan dan Ence Kie, yang membuat serbuk mesiu dan membawakan Sonbai senjata dari Timor Portugis.[16] Tentu saja ini merupakan salah satu alasan mengapa Belanda ingin membatasi akses ke pedalaman Timor bagi para pedagang Cina.
Di bulan April 1906 salah seorang pelarian yang terakhir, Kornel Oteh, menyerah.[17] Menurut sumber-sumber Timor yang diwawancarai Farram, meo Toto Smaut yang hebat menghindari penangkapan, tapi menyerahkan dirinya setelah mendengar bahwa Sonbai ada dalam penjara. Toto Smaut dibuang ke Aceh, namun kemudian diperbolehkan pulang dan meninggal di Kauniki pada tahun 1936. Seorang meo yang lain, Paut Lopo, mencoba meneruskan peperangan namun terbunuh dalam pertempuran oleh Belanda.[18] ‘Pemberontakan’ Sonbai berakhir.
Perang Bipolo, dan Nasib Sobe Sonbai III
Sementara itu, Sobe Sonbai dibuang ke Waingapu di Sumba, dimana ia tinggal selama satu atau dua tahun. Ia kembali ke Timor dan tinggal di Camplong. Kerajaannya dibagi-bagi menjadi beberapa kerajaan seperti Amfoan, Molo, Miomafo dan Fatuleu. Di tahun 1913 terungkap sebuah gerakan yang bertujuan untuk menyatukan kembali kerajaan tua dan menempatkan kembali Sobe Sonbai III ke tahtanya. Kesalahan dilimpahkan kepada saudara Sobe Sonbai, Besi Keli Sonbai, dan Aloep Kono, bekas temukung Kauniki. Besi Keli Sonbai meninggal segera setelah itu dan Aloep Kono kembali ke Kauniki, namun Sobe Sonbai tetap dalam pengawasan di Camplong.
Akhirnya, dalam usia delapan puluhan, Sonbai menyakinkan Belanda bahwa ia tidak punya ambisi lagi dan memohon untuk diperbolehkan kembali ke kampung kelahirannya di Kauniki. Resident A. Couvreur mengabulkan permintaanya pada bulan Juni 1921. Namun Sonbai belum berhenti dan setelah beberapa saat di Kauniki datang laporan bahwa ia sekali lagi mengajarkan pemberontakan melawan ‘Kompeni’. Couvreur segera membawa laki-laki tua ini ke Kupang. Ia meninggal dalam pengasingan di Kupang di bulan Agustus 1922.[19] Ia dimakamkan di Fatufeto, tidak jauh dari Banteng Concordia.[20] Namun tempat yang pasti tidak diketahui sampai kini. {S}